Berbicara tentang muktamar, yang mungkin terbayang di benak fikiran setiap orang adalah berkumpulnya orang-orang di suatu tempat untuk memutuskan kesepakatan bersama. Benarkah pemahaman muktamar semacam itu?. Lalu bagaimana dengan adab-adab yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan muktamar ini?. Berikut sekilas catatan kecil tentang panduan muktamar menurut Al-Quran. Mudah-mudahan bermanfa’at dan dapat di implementasikan dalam pelaksanaan setiap muktamar.
1. Pengertian Muktamar
Dalam KBBI (2007: 760) , muktamar diartikan konferensi, kongres, rapat, perundingan dan pertemuan. Bila kita tela’ah dengan cermat, muktamar merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu mu’tamar (memakai hamzah, bukan “k”). Hal ini seperti pada ungkapan dakwah, yang diserap dari kata da’wah (memakai ‘ain) dan kata mukmin dari kata mu’min (memakai hamzah).
Dalam perspektif bahasa Arab, Asal kata muktamar adalah dari amr, yang biasa diterjemahkan perkara atau urusan. Menurut Raghib (tt: 1: 47), ketika diubah menjadi i’timar, maka maknanya adalah qabulul amri, yaitu menerima urusan. Lebih lanjut Raghib menegaskan bahwa musyawarah disebut i’timar karena ada penerimaan dari masing-masing pihak atas sesuatu yang dimusyawarahkan.
Dari uraian diatas, dapat kita fahami bahwa muktamar itu adalah pertemuan, yang di dalamnya ada saling menerima pendapat satu sama lain diantara para mu’tamirin. Lalu bagaimana panduan muktamar dalam Al-Quran.
2. Muktamar dalam Al-Quran
Kata muktamar dalam Al-Quran dijumpai dalam dua ayat, yaitu dengan bentuk fi’il mudhore’ pada surat al-Qoshos ayat 20 dan bentuk fi’il amar dalam surat ath-Tholaq ayat 6.
a. Al-Qoshos ayat 20
"Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu."
Penafsiran para mufassir tentang makna muktamar pada ayat tersebut:
1. Ibnu ‘Abbas (tt: 405) mengartikan muktamar dengan arti ittifaq, yaitu kesepakatan.
2. Ibnu Katsir (1999: 6: 266), Imam As-Sa’di (2000: 613), Ibnu Jazi (tt: 1356), Samin al-Halabi (tt: 3926), Al-Baghowi, (1997: 6: 199), As’ad Haumid (tt: 3154) Ibnu Jazi (tt: 1356), Al-Qurthubi (tt: 13: 236), Al-Maroghi (tt: 20: 47) mengartikan muktamar pada ayat tersebut dengan arti musyawarah.
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ
"Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu."
Penafsiran para mufassir tentang makna muktamar pada ayat tersebut:
1. Ibnu ‘Abbas (tt: 405) mengartikan muktamar dengan arti ittifaq, yaitu kesepakatan.
2. Ibnu Katsir (1999: 6: 266), Imam As-Sa’di (2000: 613), Ibnu Jazi (tt: 1356), Samin al-Halabi (tt: 3926), Al-Baghowi, (1997: 6: 199), As’ad Haumid (tt: 3154) Ibnu Jazi (tt: 1356), Al-Qurthubi (tt: 13: 236), Al-Maroghi (tt: 20: 47) mengartikan muktamar pada ayat tersebut dengan arti musyawarah.
3. Ats-Tsa’labi (tt: 1704) menambahaka, bahwa muktamar itu adalah bermaksud dan bermusyawarah. Ada juga yang mengartikan, satu sama lain saling memerintahkan.
4. Wahbah Zuhaili (1418 H: 20: 37), Sayyid Thantawi (tt: 3225), Al-Alusi (tt: 15: 99), Isma’il Haqqi (tt: 10: 131) juga mengartikan, muktamar dengan arti musyawarah, dan memberikan tambahan, musyawarah disebut muktamar karena masing-masing orang yang bermusyawarah itu memerintahkan yang lain dan mengikuti hasil musyawarah itu.
b. Ath-Thalaq ayat 6
Bila disimak dengan baik, sebenarnya ayat tersebut berbicara dalam konteks perceraian. Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran-nya, pada hakikatnya ayat di atas menuntut setiap orang yang terlibat situasi yang tidak disenanginya seperti perceraian, untuk tetap menyelesaikannya dengan ma’ruf. Pengertian ma’ruf itu sendiri, menurut Ibnu Katsir, dijelaskan Allah swt dalam surat Al-Baqoroh ayat 233, yakni tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak. Walaupun dendam sudah sangat membara, hak nafqah istri untuk pemeliharaan anaknya tidak boleh diabaikan. (Risalah, September 2010: 3).
Dengan demikian ayat tersebut merupakan panduan secara umum kepada orang mu’min untuk melakukan muktamar secara ma’ruf. Dalam konteks perceraian sebagaiaman dijelaskan sebelumnya muktamar secara ma’ruf dapat digambarkan dengan tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak. Lalu bagaiaman kaitannya dengan konteks muktamar dalam rangka memilih ketua dalam suatu organisasi?.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, alangkah baiknya kita tela’ah secara cermat apa yang dimaksud dengan ma’ruf itu?. Berikut penulis sampaikan tentang makna ma’ruf menurut pandangan ulama
1) Pandangan Al-Jurjani
Al-jurjani mendefinisikan ma’ruf yaitu:
2) Pandangan Ashon’ani
Dari definisi tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita fahami bahwa ma’ruf itu:
a. Suatu perbuatan yang baik
b. Standar baiknya perbuatan tersebut berdasarkan syara’
c. Diketahui berdasarkan dalil syara’ (Al-Quran atau hadits)
d. Perbuatannya itu ada yang sudah berjalan secara adat atau belum berjalan secara adat (belum menjadi adat)
e. Akan menjadi pahala bagi pelakunya jika diniatlkan mendapat pahala dari Allah
Untuk lebih mempertajam tentang pengertian tersebut, dapat kita sebutkan beberapa contoh. Diantara perbuatan ma’ruf yang berkaitan dengan pergaulan misalnya, yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yangtua, tidak meremehkan orang lain, saling menghargai, tidak mencaci maki dan sejumlah perbuatan baik lainnya yang disyari’atkan oleh Islam.
Sekaitan dengan ma’ruf dalam muktamar, dapat kita aplikasikan sebagai berikut:
- Memiliki niat ikhlas dan tulus dalam keikutsertaan di muktamar (bukan karena ikut-ikutan atau sebatas mencari perhatian)
- Bersikap lemah lembut dalam muktama.
- Bertutur kata yang sopan, dengan bahasa yang dapat difahami oleh semua kalangan
- Tidak berbicara kasar
- Tidak egois dengan pendapat sendiri
- Menghargai pendapat orang lain
- Tidak berbuat kegaduhan selama pelaksanaan muktamar
- Berbicara berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
- Tidak merasa paling tau
- Siap untuk menerima klarifikasi dari orang lain manakala pendapatnya keliru.
4. Wahbah Zuhaili (1418 H: 20: 37), Sayyid Thantawi (tt: 3225), Al-Alusi (tt: 15: 99), Isma’il Haqqi (tt: 10: 131) juga mengartikan, muktamar dengan arti musyawarah, dan memberikan tambahan, musyawarah disebut muktamar karena masing-masing orang yang bermusyawarah itu memerintahkan yang lain dan mengikuti hasil musyawarah itu.
b. Ath-Thalaq ayat 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”Bila disimak dengan baik, sebenarnya ayat tersebut berbicara dalam konteks perceraian. Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran-nya, pada hakikatnya ayat di atas menuntut setiap orang yang terlibat situasi yang tidak disenanginya seperti perceraian, untuk tetap menyelesaikannya dengan ma’ruf. Pengertian ma’ruf itu sendiri, menurut Ibnu Katsir, dijelaskan Allah swt dalam surat Al-Baqoroh ayat 233, yakni tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak. Walaupun dendam sudah sangat membara, hak nafqah istri untuk pemeliharaan anaknya tidak boleh diabaikan. (Risalah, September 2010: 3).
Dengan demikian ayat tersebut merupakan panduan secara umum kepada orang mu’min untuk melakukan muktamar secara ma’ruf. Dalam konteks perceraian sebagaiaman dijelaskan sebelumnya muktamar secara ma’ruf dapat digambarkan dengan tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak. Lalu bagaiaman kaitannya dengan konteks muktamar dalam rangka memilih ketua dalam suatu organisasi?.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, alangkah baiknya kita tela’ah secara cermat apa yang dimaksud dengan ma’ruf itu?. Berikut penulis sampaikan tentang makna ma’ruf menurut pandangan ulama
1) Pandangan Al-Jurjani
Al-jurjani mendefinisikan ma’ruf yaitu:
المعروف كل ما يحسن في الشرع (التعريفات: 219
Ma’ruf adalah sesuatu yang dipandang baik dalam syar’i. (At-Ta’rifat: 219)2) Pandangan Ashon’ani
المعروف ما عرف بأدلة الشرع أنه من أعمال البر سواء جرت به العادة أم لا فإن قارنته النية أجر صاحبه جرما و إلا ففيه احتمال ( سبل السلام : 4: 309
Ma’ruf adalah sesuatu yang diketahui berdasarkan dalil-dalil syar’I bahwa itu adalah perbuatan baik, apakah perbuatan itu sudah berjalan dalam adat maupun belum. Jika perbuatan itu disertai niat maka pelakunya akan mendapatkan pahala secara pasti, tetapi jika tidak maka hal itu ada beberapa kemungkinan (Subul as-Salam: 4: 309).Dari definisi tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita fahami bahwa ma’ruf itu:
a. Suatu perbuatan yang baik
b. Standar baiknya perbuatan tersebut berdasarkan syara’
c. Diketahui berdasarkan dalil syara’ (Al-Quran atau hadits)
d. Perbuatannya itu ada yang sudah berjalan secara adat atau belum berjalan secara adat (belum menjadi adat)
e. Akan menjadi pahala bagi pelakunya jika diniatlkan mendapat pahala dari Allah
Untuk lebih mempertajam tentang pengertian tersebut, dapat kita sebutkan beberapa contoh. Diantara perbuatan ma’ruf yang berkaitan dengan pergaulan misalnya, yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yangtua, tidak meremehkan orang lain, saling menghargai, tidak mencaci maki dan sejumlah perbuatan baik lainnya yang disyari’atkan oleh Islam.
Sekaitan dengan ma’ruf dalam muktamar, dapat kita aplikasikan sebagai berikut:
- Memiliki niat ikhlas dan tulus dalam keikutsertaan di muktamar (bukan karena ikut-ikutan atau sebatas mencari perhatian)
- Bersikap lemah lembut dalam muktama.
- Bertutur kata yang sopan, dengan bahasa yang dapat difahami oleh semua kalangan
- Tidak berbicara kasar
- Tidak egois dengan pendapat sendiri
- Menghargai pendapat orang lain
- Tidak berbuat kegaduhan selama pelaksanaan muktamar
- Berbicara berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
- Tidak merasa paling tau
- Siap untuk menerima klarifikasi dari orang lain manakala pendapatnya keliru.
3. Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
· Muktamar itu adalah kesepakatan dan musyawarah. Diartikan demikian, karena pada hakekatnya dalam musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama dengan jalan musyawarah
· Muktamar dalam Al-Quran dijumpai dalam dua ayat, dan maknanya adalah musyawarah
· Al-Quran membimbing agar muktamar hendaknya dilakukan secara ma’ruf
· Ma’ruf dalam muktamar yaitu menampilkan sikap yang bernuasnsa Islami
Demikianlah selintas catatan kecil tentang panduan muktamar dalam Al-Quran. Semoga bermanfa’at.
*ketua bidang kajian keilmuan HIMA PK UPI 2010-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar