Selasa, 31 Juli 2012

Madrasah Ramadhan pertemuan ke-empat


صوم رمضان
التَّعْرِيفُ :
الصَّوْمُ فِي اللُّغَةِ : الإمْسَاكُ مُطْلَقًا عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْكَلاَمِ وَالنِّكَاحِ وَالسَّيْرِ. قَال تَعَالَى - حِكَايَةً عَنْ مَرْيَمَ عَلَيْهَا السَّلَامُ { إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا }[1].
وَالصَّوْمُ : مَصْدَرُ صَامَ يَصُومُ صَوْمًا وَصِيَامًا[2].
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : هُوَ الإمْسَاكُ عَنِ الْمُفْطِرِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ[3].
Shaum Ramadhan
Definisi:

secara etimologi: menahan secara mutkaq dari makan, minum, berbicara, nikah dan bepergian. sebagaimana firman Allah SWT dalam kisah Maryam 'alaihi as-salam: "sungguh aku bernadzar kepada Yang Maha Penyayang untuk Shaum (menahan), maka pada hari ini aku tidak akan berbicara kepada manusia". kata الصَّوْمُ merupakan masdhar dari صَامَ يَصُومُ صَوْمًا وَصِيَامًا.
secara terminologi: shaum berarti menahan dari yang membatalkan dengan cara tertentu.

الْحُكْمُ التَّكْلِيفِيُّ :
أَجْمَعَتِ الأمَّةُ عَلَى أَنَّ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَرْضٌ . وَالدَّلِيل عَلَى الْفَرْضِيَّةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإجْمَاعُ .أَمَّا الْكِتَابُ، فَقَوْلُهُ تَعَالَى: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}[4] وَقَوْلُهُ { كُتِبَ عَلَيْكُمْ } : أَيْ فُرِضَ .
وقَوْله تَعَالَى: { فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }[5] .
وَأَمَّا السُّنَّةُ ، فَحَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَال : قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ[6].

Dasar hukum:
Ummat islam telah bersepakat bahwa shaum Ramadhan hukumnya fardu. berdasarkan dalil dari Al-Quran, As-Sunnah dan ijma'.
dalam Al-Quran disebutkan: "wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shiyam sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa". kata كُتِبَ عَلَيْكُمْ bermakna diwajibkan.
juga firman-Nya: "siapa diantara kalian menyaksikan bulan, maka shaumlah".
Dalam as-sunah, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar ra. berkata: telah bersadba Rasulullah SAW:  " islam dibangun diatas lima pondasi: bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan shaum Ramadhan".

مراحلُ فَرْضِ الصيام
وفي رِوايةٍ لأَحمد: «وَأَما أَحْوَالُ الصِّيامِ فإِنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه و سلم  قَدِمَ المدِينةَ فَجَعَلَ يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاثَةَ أَيامٍ - وَقَالَ يَزِيدُ بنُ هَارُون: فَصَامَ تِسْعَةَ عَشَرَ شَهْراً مِنْ رَبيعٍ الأَولِ إِلى رَمَضَانَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاثَةَ أَيامٍ - وَصَامَ يَوْمَ عَاشُورَاء، ثُم إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ عَلَيهِ الصِّيامَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ [يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ] إِلى هَذِهِ الآيةِ [وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ] قَالَ: فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكيناً، فَأَجْزَأَ ذَلكَ عنه، قَالَ: ثُم إِن اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الآيَةَ الأُخْرَى [شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ القُرْآَنُ] إِلى قَوْلِهِ [فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ] قَالَ: فَأَثْبَتَ اللهُ صِيامَهُ على المقِيمِ الصَّحِيحِ، وَرَخَّصَ فيهِ لِلْمَريضِ والمسَافِرِ، وثَبَتَ الإِطْعَامُ لِلكَبيرِ الَّذِي لا يَسْتَطِيعُ الصِّيامَ، فَهَذَانِ حَوْلان، قَالَ: وكَانُوا يَأْكُلونَ ويَشْرَبُونَ ويَأْتُونَ النِّسَاءَ ما لم يَنَامُوا، فإِذا نَامُوا امْتَنَعُوا، قَالَ: ثُم إِنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ يُقَالُ له: صِرْمَة ظَلَّ يَعْمَلُ صَائِماً حتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلى أَهْلِهِ فَصَلَّى العِشَاءَ، ثُم نَام فَلَم يَأْكُل ولم يَشْرَبْ حَتَّى أَصْبَح، فَأَصْبَحَ صَائِماً، قَالَ: فَرَآهُ رَسُولُ صلى الله عليه و سلم وقَدْ جُهِدَ جَهْداً شَدِيداً قَالَ: مَالي أَرَاكَ قَدْ جُهِدْتَ جَهْداً شَدِيداً؟ قَالَ: يا رَسُولَ الله، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فَجِئْتُ حِينَ جِئْتُ فَأَلْقَيتُ نَفْسي، فَنِمْتُ وَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِماً، قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنْ النِّسَاءِ مِنْ جَارِيَةٍ أَو مِنْ حُرَّةٍ بَعْدَما نَامَ، وَأَتَى النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم فَذَكَرَ ذَلكَ له، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ [أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ] إِلى قَوْلِه: [ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ]».


Tahapan wajibnya shaum
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad dikatakan: "adapun ketika shaum, Rasulullah SAW tiba di Madinah. lalu beliau shaum selama tiga hari setiap bulannya. adapun Yazid Ibn Harun mengungkapkan bahwa: Nabi melaksanakan shaum selama 19 bulan, yakni dari bulan rabi'ul awwal sampai ramadhan, setiap bulannya beliau shaum selama 3 hari, dan nabi-pun shaum pada hari a'syura' (10 muharram). Allah-pun mewajibkannya shaum dengan turunnya ayat: "wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan shaum terhadap kalian, sebagaimana diwajibkannya kepada orang-orang sebelum kalian". sampai ayat ini; "dan bagi orang yang tidak mampu diganti fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin". Nabi bersabda: maka siapa yang mampu shaumlah, dan siapa yang tidak hendaknya memberi makan orang miskin (fidyah), karena hal tersebut diperbolehkan. Nabi mengungkapkan pula sebuah ayat: "bulan ramadhan merupakan bulan diturunkannya Al-Quran". sampai ayat: "siapa yang menyaksikan bulan maka hendaknya shaum". Nabi menambahkan: Allah telah mewajibkan shaum untuk orang mukim (tidak sedang bepergian) lagi sehat, adapun untuk yang sedang sakit dan safar Allah memberi keringanan (untuk tidak shaum), dan untuk orang lanjut usia yang tidak lagi mampu shaum diganti dengan memberi makan, inilah dua keadaan orang yang shaum. Nabi berkata: mereka (para sahabat) makan, minum dan berjima selama mereka belum tidur, dan ketika tidur mereka tidak melakukan hal-hal tersebut. Nabi melanjutkan: kemudian seorang laki-laki kaum anshar berkata; ada seseorang yang senantiasa terusmenerus shaum sampai sore, ia mendatangi keluarganya lalu shalat isya dan tidur, ia tidak makan dan minum sampai subuh, dan ketika subuh ia kembali shaum. Yazid ibn Harun berkata: Rasulullah SAW melihat orang tersebut dalam keadaan sangat payah. Rasul-pun bertanya: "kenapa kamu terlihat sangat payah?". ia menjawab: "ya Rasulallah, sungguh aku shaum sampai sore, lalu aku tiba dan aku menemui keluargaku, aku tidur dan ketika subuh aku telah saum kembali". Yazib derkata: adapun Umar menemui isterinya yang seorang hamba atau yang merdeka setelah tidur, lalu datanglah Nabi SAW dan mengingatkan hal tersebut kepadanya. lalu turunlah ayat: "dihalalkan bagi pada malam shaum kalian mendatangi istri-istri kalian". sampai ayat: "kemudian, sempurnakanlah shaum sampai malam".

فَضْل الصَّوْمِ:
وَرَدَتْ فِي فَضْل الصَّوْمِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ ، نَذْكُرُ مِنْهَا مَا يَلِي :
أ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ[7].
ب - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَال : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُومِ رَمَضَانَ ، يَقُول : قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، وَتُغَل فِيهِ الشَّيَاطِينُ ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ[8].
ج - وَعَنْ سَهْل بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا ، يُقَال لَهُ: الرَّيَّانُ ، يَدْخُل مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُل مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَال : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُل مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُل مِنْهُ أَحَدٌ[9].
د - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَل عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْل أَنْ يُغْفَرَ لَهُ[10].
Keutamaan shaum
Terkait keutamaan shaum, banyak hadits yang menerangkan hal ini, diantaranya:
1. dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW beliau bersabda: "siapa yang shaum pada bulan ramadhan karena iman dan mengharap rido Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. dan siapa yang menghidupkan lailatul qadr karena iman dan mengharap riso-Nya, niscaya diampuni dosanya yang terdahulu,
2. dari Abu Hurairah ra. ia berkata: adalah Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para shahabat dengan datangnya bulan ramadhan, Nabi bersabda: "telah datang kepada kalian bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah mewajibkan shaum pada bulan tersebut, pintu-pintu surga dibukakan, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu. pada bulan tersebut terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan".
3. dari Sahl ibn Sa'ad ra. dari Nabi SAW bersabda: sungguh, dalam surga terdapat suatu pintu yang dinamai Ar-Rayyan, orang-orang yang shaun masuk ke dalamnya pada hari qiyamat, tak ada seotangpun yang masuk kecuali mereka. dipanggilah: mana oran-orang yang shaum?, lalu mereka berdiri, tak ada seorangpun yang masuk kecuali mereka, ketika mereka telah masuk ditutuplah pintu, maka tidak akan ada yang bisa masuk seorangpun".
4. dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW telah bersbada: "celakalah bagi orang yang telah datang bulan ramadhan sampai selesai, sebelum ia memohon ampunan kepada Allah".

آدابُ الصيام
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ صلى الله عليه و سلم قَالَ: «الصِّيامُ جُنَّةٌ، فإذا كَانَ أَحَدُكُم صَائِماً فلا يَرْفُثْ ولا يَجهَلْ، فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَه فَلْيَقُلْ: إنِّي صَائِمٌ، إني صَائِم» رواه الشيخان[11]
وفي رِوايَةٍ: «وإِذا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَه فَلْيَقُلْ: إنِّي امْرؤٌ صَائِم»[12].
وفي رِوايَةٍ: «لا تُسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ، وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فقُلْ: إنِّي صَائِم، وَإِنْ كُنتَ قَائِماً فاجْلِس».[13]
وعَنْ أَبي هُرَيْرَةَ ( قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلم: «مَنْ لَم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيسَ لله حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وشَرَابَهُ» رواه البخاري.[14]
Adab shaum
Dari Abu Hurairah ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "shaum itu merupakan perisai, maka ketika salah seorang diantara kalian shaum janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh, jika seseorang mencacinya hendaklah mengatakan: "aku sedang shaum, aku sedang shaum". (H. R. Syaikhaan)
dalam riwayat lain dikatakan: "ketika seseorang diantara kamu shaum, janganlah berkata kotor dan berteriak, jika seseorang mengajaknya bertengkar hendaklah mengatakan: "sungguh aku adalah seorang yang shaum".
dalam riwayat lain pula dikatakan: "janganlah berkata kasar sedangkan kamu shaum, jika seseorang mencelamu katakanlah: "aku sedang shaum". dan jika kamu sedang berdiri maka duduklah".
dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: "siapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan melakukannya, serta berbuat bodoh. maka Allah tidak memiliki keperluan bahwa dia meninggalkan makan dan minumnya". (H. R. Bukhari)

فضلُ تعجيلِ الفِطْرِ
قَالَ اللهُ تَعَالَى: [ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ][15]
وعَنْ سَهْلِ بنِ سَعْدٍ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ الله قَالَ: «لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الفِطْرَ» رواه الشيخان[16]
وفي روايةٍ لابنِ مَاجَه: قَالَ رَسُولُ الله: «لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطرَ، عَجِّلُوا الفِطرَ فَإِنَّ اليَهودَ يُؤَخِّرُونَ» سنن ابن ماجه (١٦٩۸).
وفي روايةٍ لابنِ خُزْيمَةَ وابنِ حِبَّانَ: «ما يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِراً ما عَجَّلَ النَّاسُ الفطْرَ، إِنَّ اليَهودَ والنَّصارى يُؤَخِّرُونَ»[17]
وَعَنْ أَنَسٍ - رضي الله عنه - قَالَ: «مَا رَأَيْتُ رَسُولَ صلى الله عليه و سلم قَطُ صَلَّى صَلاةَ المغْرِبِ حَتَّى يُفْطِرَ وَلَو عَلى شَرْبَةٍ مِنْ مَاء»[18]

Keutamaan menyegerakan berbukaAllah SWT bersabda:  "kemudian sempurnakanlah shaum sampai waktu malam".
Dari Sahl ibn Sa'ad ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka". (H. R. Syaikhaan)
dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan: Rasulullah SAW bersabda: "manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka, maka segerakanlah berbuka, karena orang yahudi mengakhirkan berbuka". (Sunan Ibnu Majah: 1698)
dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban : " agama akan senantiasa nyata selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang yahudi dan nashrani senantiasa mengakhirkannya".
dari Anas ra. berkata: "aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW shalat maghrib sampai ia berbuka dahulu walaupun dengan minum air".

فضلُ تفطيرِ الصائم
عَنْ زَيدِ بنِ خَالِدٍ الجُهْنيِّ- رضي الله عنه - قَالَ : قَالَ رَسُولُ صلى الله عليه و سلم: «مَن فَطَّرَ صَائماً كَانَ له مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنقُصُ مِن أَجْرِ الصَّائِمِ شَيئاً» رواه الترمذي وقَالَ: حسن صحيح.[19]
وفي رِوايةٍ: «مَنْ فَطَّر صَائماً أَطعَمَهُ وسَقَاهُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيء».[20]

 Keutamaan memberi makan orang yang shaumDari Zaid Al-Juhniy ra. berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: "Siapa yang memberi makan orang yang shaum, baginya pahala seperti orang yang shaum tersebut dengan tanpa mengurangi pahala orang yang shaum sedikitpun". H. R. Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata: "hadits ini hasan shahih".
dalan satu riwayat dikatakan pula: "siapa yang memberi makan orang yang shaum, ia memberinya makan dan minum, maka paginya pahala sebagaimana pahalanya orang yang shaum tanpa mengurangi pahala shaumnya sedikitpun".


[1]سورة مريم / ٢٦ .
[2]  القاموس المحيط ، والمصباح المنير ، ومختار الصحاح مادة ( صوم ) .
[3] مغني المحتاج ١ / ٤٢٠ .
[4] سورة البقرة / ١۸٣، وانظر التفسير المذكور في أحكام القرآن لابن العربي ( ١ / ٦١ ط : دار المعرفة بيروت ) .
[5]  سورة البقرة ١۸٥.
[6]  حديث : " بني الإسلام على خمس . . " . أخرجه البخاري ( الفتح ١ / ٤٩ - ط . السلفية ) ومسلم ( ١ / ٤٥ ط . الحلبي ) .
[7] حديث : " من صام رمضان إيمانا واحتسابا . . " . أخرجه البخاري ( الفتح ٤ / ٢٥٥ ط السلفية ) .
[8] حديث أبي هريرة " كان النبي صلى الله عليه وسلم يبشر أصحابه بقدوم رمضان . . . " . أخرجه أحمد ( ٢ / ٣٨٥ ط الميمنية ) والنسائي ( ٤ / ١٢٩ - ط المكتبة التجارية ) ، وفي إسناده انقطاع ، ولكن له طرقا أخرى تقويه .
[9] حديث سهل بن سعد : " إن في الجنة بابا يقال له الريان . . . " . أخرجه البخاري ( الفتح ٤ / ١١١ ط السلفية ) ومسلم ( ٢ / ۸٠٨ ط الحلبي ) .
[10] حديث : " رغم أنف رجل دخل عليه رمضان . . . " . أخرجه الترمذي ( ٥ / ٥٥٠ - ط الحلبي ) وقال : حديث حسن .
[11] رواه مالك واللفظ له (١ / ٣١٠) والبخاري (١٧٩٥) ومسلم (١١٥١).
[12] هذه الرواية للبخاري (١۸٠٥) ومسلم (١١٥١).
[13] هذه الرواية للنسائي في الكبرى (٣٢٥٩) والطيالسي (٢٣٦٧) وصححها ابن خزيمة (١٩٩٤) وابن حبان (٣٤۸٣).
[14] رواه البخاري (٥٧١٠) وأبو داود (٢٣٦٢) والنسائي في الكبرى (٣٢٤٥-٣٢٤۸) والترمذي (٧٠٧).
[15] {البقرة: ١۸٣} .
[16] رواه البخاري (١٨٥٦) ومسلم (١٠٩۸).
[17] صحيح ابن خزيمة (٢٠٦٠) وصحيح ابن حبان (٣٥٠٣).
[18]رواه أبو يعلى وصححه ابن حبان رواه أبو يعلى (٣٧٩٢) والبزار (٩٨٤) والبيهقي (٤/٢٣٩) وصححه ابن خزيمة (٢٠٦٣) وابن حبان (٣٥٠٤-٣٥٠٥) وقال الهيثمي في مجمع الزوائد (٣/١٥٥): ورجال أبي يعلى رجال الصحيح..
[19]رواه الترمذي (٨٠٧) وابن ماجه (١٧٤٦) والنسائي في الكبرى (٣٣٣٠-٣٣٣١) وصححه ابن خزيمة (٢٠٦٤) وابن حبان (٢٤٢٩)  وجاء موقوفاً على عائشة رضي الله عنها عند النسائي في الكبرى (٣٣٣٢) وعلى أبي هريرة - رضي الله عنه - عند عبدالرزاق (٧٩٠٦).
[20]هذه الرواية لعبدالرازق (٧٩٠ە) والطبراني في الكبير (ە / ٢ە٦) رقم (٢ە٦٩).

Selamatkan Muslim Rohingnya! (Pernyataan Sikap Pw Himi Persis JABAR)

Oleh: PW Himi Persis JABAR 
31 July 2012
Penindasan dan diskriminasi terhadap satu etnis atau agama tertentu sangat bertentangan dengan konstitusi hukum dan melanggar HAM. Apalagi penindasan yang disertai dengan dilarangnya dalam melakukan kewajibannya sebagai pemeluk agama. Penindasan Muslim Rohingya oleh etnis Buddha Rakhine adalah pelanggaran HAM yang sangat biadab. Muslim Rohingya harus segera dilindungi dan diselamatkan. Apa yang menimpa muslim etnis Rohingnya adalah persoalan martabat kemanusiaan, sangatlah tidak pantas bagi pemeluk agama apapun untuk melanggar rasa kemanusiaan, karena agama selalu mengajarkan kebaikan. 

Diselidik tidak hanya karena alasan agama kaum muslim Rohingnya dibantai, tetapi karena alasan kewarganegaraannya ditolak oleh pemerintah Myanmar. Padahal etnis Rohingya telah tinggal di negara bagian Arakan (Rakhine) jauh sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada 1945. Tidak hanya itu yang harus pemerintah Myanmar pertimbangkan, tetapi ada pasal 15 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang menyatakan setiap orang berhak mempunyai kewarganegaraan dan tak seorangpun boleh dibatalkan kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya.

Mirisnya, tragedi kemanusiaan ini tidak ada tanggapan yang solutif dari pemerintah Myanmar. Begitupun dari ASEAN dan PBB. Seharusnya, Indonesia mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pendiri ASEAN untuk mendesak ASEAN dan PBB menyelesaikan permasalahan yang dihadapi etnik Rohingya di Myanmar.
Maka dari itu Pimpinan Wilayah Himi Persis Jawa Barat:
  • Mengajak seluruh kader Himi Persis dan umat islam untuk bahu membahu menyuarakan keadilan.
  • Menghimbau kepada seluruh kader Himi Persis dan umat Islam di Indonesia untuk membantu etnis Rohingya dalam menghadapi penganiayaan dan pembantaian dari Junta militer Myanmar.
  • Mendesak pemerintah RI untuk segera bertindak dan menjalankan fungsinya sebagai salah satu pendiri ASEAN untuk mendesak ASEAN dan PBB menyelesaikan permasalahan.
  • Mengutuk penindasan yang terjadi terhadap kaum muslim Rohingnya.

KETENTUAN QADHA & FIDYAH (BAGIAN II-TAMAT)

Pengertian Fidyah Shaum
Fidyah shaum artinya memberi makan kepada fakir-miskin sebesar makanan yang biasa dimakan setiap hari sebagai ganti jumlah hari tidak shaum pada bulan Ramadhan. (Lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 33, hlm. 63-64)

Siapa yang wajib fidyah?
Firman Allah swt :
وَعَلَى اَّلذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan atas orang-orang yang berat sekali baginya mengerjakan shaum, wajib memberikan fidyah, yaitu memberikan makanan kepada seorang miskin. Maka barangsiapa bertathawwu (menambah) dengan sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan bahwa shaummu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.S. Al-Baqarah : 184

Ayat ini mencakup empat orang yang menghadapi kondisi sebagai berikut:

(1) Orang Tua
Dalam hal ini adalah orang tua yang sudah lanjut usia, terlalu payah, bahkan kemungkinan membahayakan keselamatannya bila bershaum. Sahabat Ibnu Abas mengatakan:
رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ.  -رواه الدار قطني والحاكم -
“Telah diberi keringanan bagi orang tua lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan kepada seorang miskin setiap  hari,  dan tidak  ada  qadha  baginya.” H.R. Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahiihain, I: 440.

(2) Perempuan Hamil atau Menyusui
Dapat kita klasifikasikan bahwa perempuan hamil atau menyusui ini terbagi dalam tiga kelompok:
Pertama, perempuan itu kuat melaksanakan shaum dan tidak berdampak negatif bagi dirinya dan bayinya, maka baginya tetap berlaku hukum asal, yaitu wajib shaum.
Kedua, perempuan itu kuat melaksanakan shaum tetapi dikhawatirkan timbul akibat yang kurang baik terhadap dirinya atau bayinya, maka dianjurkan berbuka dan memang berbuka shaum itu lebih baik bagi diri dan bayinya, dan ia wajib ber-fidyah.
Ketiga, perempuan itu akan terancam kesehatan/keselamatan dirinya dan atau bayinya apabila melakukan shaum. Maka dalam keadaan seperti ini ia wajib tidak shaum/berbuka shaum, dan ia wajib berfidyah.
Dengan uraian di atas maka hukum perempuan yang kedua dan ketiga sejalan dengan fatwa Ibnu Abas terhadap perempuan hamil dan menyusui sebagai berikut:
أَنْتِ مِنَ الَّذِينَ لاَ يُطِيقُونَ الصِّيَامَ وَعَلَيْكِ الجَزَاءُ وَلَيْسَ عَلَيْكِ القَضَاءُ
“Kamu sekedudukan dengan orang yang payah untuk shaum, maka wajib atas kamu fidyah dan tidak ada qodha.” H.R. Ad-Daraqutni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 206, No. 8

(3) Dan yang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya,

(4) Pekerja yang melakukan pekerjaan berat
Yaitu mereka yang tidak mendapatkan kesempatan mencari rezeki kecuali dari pekerjaan itu, seperti para pekerja di penambangan, ia diperbolehkan untuk berbuka saum tetapi ia harus membayar fidyah. (lihat, Fiqhus Sunnah, I:429)

Jenis dan Kadar Fidyah
Di dalam nash (teks) Al Qur`an atau As-Sunnah tidak disebutkan tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Al-Qur’an hanya menyebutkan:
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“wajib memberikan fidyah, yaitu memberikan makanan kepada seorang miskin.”  Q.S. Al-Baqarah : 184

Sehubungan dengan itu, para ulama berbeda  pendapat dalam menetapkan kadar dan jenis fidyah itu.
Ibnu Abas, tidak menetapkan kadar dan jenis fidyah. Ia hanya mengatakan:

رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ.  -رواه الدار قطني والحاكم
 -
Telah di-rukhsakh-kan bagi orang tua lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan kepada seorang miskin,  tidak  ada  qadha  baginya. H.R. Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahiihain, I: 440.
Namun dalam riwayat Ath-Thabari, Ibnu Abbas memberikan pedoman ukuran secara teknis sebagai berikut:
فَلْيَتَصَدَّقْ عَلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ لِكُلِّ يَوْمٍ أَفْطَرَهُ حِينَ يُفْطِرُ وَحِينَ يَتَسَحَّرُ
“Bershadaqalah kepada seorang miskin untuk setiap hari ia berbuka, ketika waktu berbuka dan ketika waktu sahur.”  (Tafsir Ath-Thabari,  III:171)

Demikian pula ulama tabi’in dan tab’ut tabi’in, seperti  Ibnu Syihab Az-Zuhri, Asy-Sya’bi dan Atha,  dan Al-Hasan Al-Bishri tidak menetapkan kadar dan jenis fidyah. (Tafsir Ath-Thabari,  III:163-165)
Sementara ulama lainnya menetapkan kadar dan jenis fidyah. Misalnya, menurut Alqamah dan Ibrahim An-Nakha’i, “wajib memberi makanan kepada seorang miskin 1/2 sha’.” (Tafsir Ath-Thabari,  III:162) Menurut Abu Hanifah, 1/2 sha’ (=2 mud) burr (gandum) atau 1 sha’ selain burr, seperti tamr (kurma) atau sya’iir (gandum). (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).

Sedangkan menurut Sa’id bin Al-Musayyab, sebanyak 1 mud hinthah (biji gandum). (Tafsir Ath-Thabari,  III:171). Sementara jumhur ulama berpendapat, 1 mud makanan pokok suatu negeri. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).

Menurut Imam An-Nawawi, "Pendapat pertama, kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada." (Lihat, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, juz VI, hlm. 420)

Adapun ukuran satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Saw. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480  mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. (Syarhul Mumti' , juz 6, hlm. 176)

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. (Taudhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram,  III:178)

Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram dan 1 sha’ sama dengan 2751 gram. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum berkisar antara 510 hingga 675 gram. Sedangkan selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah ½ sha’ berkisar antara 1375 hingga 1500 gram.

Setelah memperhatikan berbagai pendapat di atas, kami cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa kadar dan jenis fidyah itu adalah seukuran makanan yang biasa dia makan setiap hari atau yang senilai dengan itu. Dengan pertimbangan sebagai berikut:

Karena di dalam nash (teks) Al Qur`an atau As-Sunnah tidak disebutkan tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan, maka ketetapannya kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim), sebagaimana dinyatakan dalam kaidah fiqih:
إِنَّ مَا لَيْسَ لَهُ ضَابِطٌ فِي الشَّرْعِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ إلَى الْعُرْفِ
“Sesuatu yang tidak memiliki batasan, baik secara syariat maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.”  (Nihayatus Sul Syarh Minhaj Al-Wushul: 305)

Dengan demikian, kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib fidyah  itu dikembalikan kepada ‘urf khas, yakni kebiasan masing-masing orang yang bersangkutan. Tetapi jika mengeluarkan lebih, hal itu lebih baik baginya. Demikian pula melebihkan jumlah orang miskin yang menerimannya. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Maka barangsiapa bertathawwu (menambah) dengan sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya.“ Q.S. Al-Baqarah : 184

Cara & Waktu Membayar Fidyah

Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama, memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak bershaum, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua. (HR. Al-Baihaqi). Kedua, memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Namun lebih baik bila disertai dengan lauk-pauknya berupa daging, atau yang lainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan.

Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan: dapat membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga, atau mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua.



 
Source: https://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/ketentuan-qadha-fidyah-bagian-ii-tamat/449432528421464

KETENTUAN QADHA & FIDYAH (BAGIAN I)

Amin Saefullah Muchtar

Oleh: Ust. Amin Saefullah Muchtar 

Firman Allah Swt.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ # أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ  البقرة : 183-184

Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi  makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya. (Q.s. Al-Baqarah : 183-184)

Ayat ini menjelaskan bahwa secara umum mukalaf (orang Islam yang terbebani tugas atau subjek hukum) terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, orang yang wajib shaum, dan tidak dibenarkan berbuka (tidak shaum). Kedua, orang yang wajib shaum, namun dibenarkan berbuka. Kelompok kedua, terbagi menjadi dua kategori: (1) wajib qadha, (2) wajib fidyah.

Pengertian Qadha Shaum
Qadha shaum artinya melaksanakan shaum di luar bulan ramadhan sesuai dengan jumlah hari tidak shaum pada bulan ramadhan sebagai gantinya. (Lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 36, hlm. 37)

Siapa yang wajib Qadha?
Di dalam Al-Quran ketentuan qadha disyariatkan bagi mereka yang menghadapi kondisi sebagai berikut:
1. Maridh (Orang yang sakit). Firman Allah Swt.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا
“maka siapa yang sakit.” (Q.s. Al-Baqarah : 184)
Penyakit dalam kaitannya dengan shaum secara garis besar terbagi menjadi dua macam:
a. penderita tidak dapat shaum, maka ia wajib berbuka
b. penderita dapat shaum tetapi mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia lebih baik tidak shaum

Ketika seseorang merasa bahwa dirinya sakit, tentulah ia dapat mengukur kemampuannya dalam hal melakukan shaum. Paling tidak ia dapat berkonsultasi dengan dokter. Apabila dalam keadaan sakit yang memang menyebabkan tidak kuat atau dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatannya, ia mendapat keringanan tidak melaksanakan shaum. Bahkan ketika shaum itu membahayakan dan dapat mengancam keselamatan, maka shaum itu tidak menjadi ibadah, melainkan menjadi maksiat dan kelaliman, paling tidak kelaliman terhadap diri sendiri.

Rasulullah saw. mengecam orang yang memaksakan shaum padahal kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Tentang mereka beliau bersabda :
أُولئِكَ العُصَاةُ.
“Mereka itu pelaku maksiat” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 785, No. 1114; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:177, No. 2263)

Sebaliknya, jangan terlalu menganggap enteng dan gegabah terhadap berbuka shaum. Selama hal itu hanya karena luka kecil, sakit yang tidak mengganggu keselamatan, dan juga kuat untuk melaksanakan shaum dengan tenang dan nyaman, maka berarti ia masih wajib melaksanakan shaum dan tidak boleh berbuka.

2. Musafir (Orang yang Bepergian). Firman Allah Swt.:
أَوْ عَلَى سَفَرٍ
“atau berpergian” (Q.s. Al-Baqarah : 184)

Dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, ketika safar itu ringan dan tidak memberatkan, maka dipersilahkan untuk memilih antara berbuka dan shaum. Jika memilih berbuka, berarti mengambil sedekah dari Allah dan hal itu baik, dan jika ia tidak mengambilnya, hal itu tidak apa-apa.
Kedua, Ketika safar itu cukup memberatkan tetapi masih kuat shaum, maka Rasulullah saw. menganjurkan untuk berbuka.
Ketiga, ketika safar itu memberatkan dan membahayakan kesehatan dan keselamatan badan, maka Rasulullah saw. mewajibkan berbuka. Shaum pada keadaan seperti itu bukan kebaikan bahkan pelakunya dihukumi sebagai pelaku maksiat.
Bagi yang sedang melakukan safar, tidak mengapa berbuka puasa. Tentang hal ini oleh sahabat Hamzah al-Aslami pernah ditanyakan kepada Nabi Saw. Di dalam sebuah hadis diterangkan :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْزَةَ ْالأَسْلَمِيَّ قَالَ للنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَ أَصُومُ فِي السَّفَرِ؟  قَالَ : إِنْ شِئْتَ فُصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأفْطِرْ. - رواه الجماعة -
Dari Aisyah, bahwasanya Hamzah al-Aslami bertanya kepada Nabi saw., “Apakah saya harus melakukan shaum pada waktu safar? “Beliau menjawab,”Jika kamu mau melakukan shaum, silahkan, dan jika ingin berbuka, silahkan”. H.R. Al-Jama’ah (Ahmad, Musnad Ahmad, VI: 207, No. 25.771; Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:686. No. hadis 1841; Muslim, Shahih Muslim, I: 500, No. hadis 1121;  Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:316, No. hadis 2402; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III: 92, No. hadis 711; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV : 2304-2307; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II : 307. No. hadis 1662)

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memberikan pilihan secara seimbang antara shaum dan berbuka, dan sama sekali tidak menetapkan afdhaliyat (keutamaan) antara keduanya.
Ada hadis lain yang semakna yang menggambarkan para sahabat dalam satu rombongan safar, mereka secara bebas terbagi kedalam dua kelompok.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم  فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ - متفق عليه

Dari Anas, ia mengatakan,”Kami melakukan safar bersama Rasululah saw. Maka yang melakukan shaum tidak mencela yang berbuka dan demikian pula yang berbuka tidak mencela orang yang shaum.” Mutafaq alaih (Al-Bukhari-Muslim, Shahih Al-Bukhari, II:687, No. 1845; Shahih Muslim, II:787, No. 1118)

Di dalam periwayatan lain dari sahabat Hamzah bin Amr al-Aslami, pernah pula ia bertanya kepada Rasulullah saw.

وَعَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِيِّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ أَجِدُ مِنِّي قُوَّةً عَلَى الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ ؟ فَقَالَ: هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ تَعَالىَ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ

Dari Hamzah bin Amr Al-Aslami, ia berkata,”Wahai Rasulullah, saya kuat melakukan shaum pada waktu safar, bolehkah saya melakukannya.?”Beliau menjawab,”Berbuka itu rukhshah dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu adalah baik, dan barangsiapa lebih suka shaum, hal itu  tidak   apa-apa baginya.’.” H.R.Muslim dan An-Nasai (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi, VI: 421)

Hadis ini merupakan dalil paling kuat yang menunjukkan bahwa berbuka puasa pada waktu safar itu  lebih baik. Terbukti kepada yang memilih berbuka Rasulullah saw. menjawab dengan kata-kata “baik”, sedangkan kepada yang memilih shaum menyatakan “tidak apa-apa”. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. dalam riwayat lain:
وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ ، فَاقْبَلُوهَا

Perhatikanlah rukshah dari Allah yang Ia rukhshah-kan atas kamu, maka terimalah. (HR.  Muslim, Shahih Muslim, I: 498. No. 1946)

Ketika Rasulullah saw. melakukan suatu safar pada hari yang sangat terik, para sahabat yang turut besertanya hampir seluruhnya berbuka shaum.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فيِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ اَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ لِشِدَّةِ الْحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ

Dari Abu ad-Darda, ia mengatakan, ”Kami bepergian bersama Rasulullah saw. pada bulan Ramadan pada hari yang sangat terik, sehingga di antara kami banyak yang menutupkan tangannya di atas kepalanya disebabkan sangat panasnya. Maka di antara kami tidak ada yang shaum, selain Rasululah saw. dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, I:501. No. 108; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 317, 2409)

Bahkan di dalam keterangan lain Rasulullah saw. memerintah berbuka, sehingga berbuka puasa itu menjadi wajib hukumnya bagi yang melakukan safar, sekiranya safar itu membuatnya payah. Atau diperlukan berbuka puasa karena kebutuhan menambah tenaga yang sudah sangat kritis.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ : مَا هذَا؟ فَقَالُوا : صَائِمٌ، فَقَالَ : لَيْسَ مِنَ البِرِّ اَلصَّومُ فِي السَّفَرِ - متفق عليه
  -
Dari Jabir, ia berkata,“Pernah Raswulullah saw. pada suatu perjalanan melihat kerumunan dan seorang laki-laki yang sudah kepayahan. Ia bertanya,’Ada apakah gerangan ini ?’ Mereka menjawab,’ Seorang yang shaum’. Maka beliau bersabda,’Bukan kebaikan melakukan shaum pada waktu safar.’.” Mutafaq ‘Alaih (Shahih Al-Bukhari, II:687, No. 1844; Muslim, Shahih Muslim, III:142, No. 2581)

Maka jelaslah bahwa tidak menjadi suatu kebaikan memaksakan diri melakukan shaum pada waktu safar jika sudah payah. Hal ini tentunya akan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Sedangkan Allah swt. telah berfirman:

{ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ}  { يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا اْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ }

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka ia harus menggatinya (menurut bilangan hari yang ia berbuka) pada hari-hari lainnya. Allah menghendaki kelapangan untukmu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan supaya kamu dapat menyempurnakan bilangan hari bulan dan supaya kamu mengagungkan Allah atas apa yang Allah telah menunjuki kamu, dan supaya kamu mensyukurinya.” (QS. Al-Baqarah : 185)

Lebih tegas lagi bahwa Rasulullah saw. menyebutnya sebagai pelaku maksiat terhadap orang memaksakan shaum pada waktu safar, padahal situasi dan kondisi menuntut berbuka. Diriwayatkan oleh Muslim dari sahabat Jabir, bahwa Rasulullah saw. sengaja berbuka puasa pada suatu safarnya ke Mekah waktu futuh Mekah. Berbukanya beliau sengaja  diperlihatkan kepada khalayak. Ketika  keadaan sudah sedemikian rupa, ternyata di antara para sahabat masih ada yang enggan berbuka puasa. Rasulullah saw. memperingatkan mereka dengan sabdanya:

أُولئِكَ العُصَاةُ
“Mereka itu pelaku maksiat”

3. Perempuan Haid dan Nifas

Perempuan yang haid dan perempuan yang nifas. Keduanya ini diharamkan shaum berdasarkan hadis-hadis sebagai berikut.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ  قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ - أخرجه البخاري -

Dari Abu Said r.a, ia mengatakan, “Nabi saw. telah bersabda, ‘Bukankah perempuan itu apabila haid tidak shalat dan tidak shaum ?’...” H.R. Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari, II: 689, No. hadis 1850)

كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Keadaan perempuan-perempuan yang nifas duduk (tidak shalat dan tidak shaum) pada masa Rasululah saw. selama empat puluh hari.” H.r. Al-Musnad, Musnad Ahmad, I:194. No. 26.646;   Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:74; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:107

Berdasarkan kedua hadis di atas, perempuan-perempuan yang nifas dan haid haram shalat dan haram shaum. Apabila datang bulan Ramadan, keduanya tidak dibenarkan shaum dan wajib mengqadhanya pada hari-hari lain, bukan dengan fidyah. Aisyah berkata:
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Maka kami diperintah mengqadha shaum dan tidak diperintah mengqadha shalat.” HR. Muslim, Shahih Muslim, I:164. No. 325.
https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/561013_442004859165606_1937445190_n.jpg