Oleh: Amin Saefullah Muchtar
Fidyah shaum artinya memberi makan kepada fakir-miskin sebesar makanan yang biasa dimakan setiap hari sebagai ganti jumlah hari tidak shaum pada bulan Ramadhan. (Lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 33, hlm. 63-64)
Siapa yang wajib fidyah?
Firman Allah swt :
وَعَلَى
اَّلذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Dan atas orang-orang yang berat sekali baginya
mengerjakan shaum, wajib memberikan fidyah, yaitu memberikan makanan
kepada seorang miskin. Maka barangsiapa bertathawwu (menambah) dengan
sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan bahwa shaummu itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.S. Al-Baqarah : 184
Ayat ini mencakup empat orang yang menghadapi kondisi sebagai berikut:
(1) Orang Tua
Dalam
hal ini adalah orang tua yang sudah lanjut usia, terlalu payah, bahkan
kemungkinan membahayakan keselamatannya bila bershaum. Sahabat Ibnu Abas
mengatakan:
رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ
كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. -رواه الدار قطني
والحاكم -
“Telah diberi keringanan bagi orang tua lanjut usia
(yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan kepada
seorang miskin setiap hari, dan tidak ada qadha baginya.” H.R.
Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala
Ash-Shahiihain, I: 440.
(2) Perempuan Hamil atau Menyusui
Dapat kita klasifikasikan bahwa perempuan hamil atau menyusui ini terbagi dalam tiga kelompok:
Pertama,
perempuan itu kuat melaksanakan shaum dan tidak berdampak negatif bagi
dirinya dan bayinya, maka baginya tetap berlaku hukum asal, yaitu wajib
shaum.
Kedua, perempuan itu kuat melaksanakan
shaum tetapi dikhawatirkan timbul akibat yang kurang baik terhadap
dirinya atau bayinya, maka dianjurkan berbuka dan memang berbuka shaum
itu lebih baik bagi diri dan bayinya, dan ia wajib ber-fidyah.
Ketiga,
perempuan itu akan terancam kesehatan/keselamatan dirinya dan atau
bayinya apabila melakukan shaum. Maka dalam keadaan seperti ini ia wajib
tidak shaum/berbuka shaum, dan ia wajib berfidyah.
Dengan uraian
di atas maka hukum perempuan yang kedua dan ketiga sejalan dengan fatwa
Ibnu Abas terhadap perempuan hamil dan menyusui sebagai berikut:
أَنْتِ مِنَ الَّذِينَ لاَ يُطِيقُونَ الصِّيَامَ وَعَلَيْكِ الجَزَاءُ وَلَيْسَ عَلَيْكِ القَضَاءُ
“Kamu sekedudukan dengan orang yang payah untuk shaum, maka wajib atas kamu fidyah dan tidak ada qodha.” H.R. Ad-Daraqutni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 206, No. 8
(3) Dan yang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya,
(4) Pekerja yang melakukan pekerjaan berat
Yaitu
mereka yang tidak mendapatkan kesempatan mencari rezeki kecuali dari
pekerjaan itu, seperti para pekerja di penambangan, ia diperbolehkan
untuk berbuka saum tetapi ia harus membayar fidyah. (lihat, Fiqhus Sunnah, I:429)
Jenis dan Kadar Fidyah
Di dalam nash
(teks) Al Qur`an atau As-Sunnah tidak disebutkan tentang kadar dan
jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Al-Qur’an hanya menyebutkan:
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“wajib memberikan fidyah, yaitu memberikan makanan kepada seorang miskin.” Q.S. Al-Baqarah : 184
Sehubungan dengan itu, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kadar dan jenis fidyah itu.
Ibnu Abas, tidak menetapkan kadar dan jenis fidyah. Ia hanya mengatakan:
رُخِّصَ
لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. -رواه الدار قطني والحاكم
-
Telah di-rukhsakh-kan bagi orang tua lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan kepada seorang miskin, tidak ada qadha baginya. H.R. Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahiihain, I: 440.
Namun dalam riwayat Ath-Thabari, Ibnu Abbas memberikan pedoman ukuran secara teknis sebagai berikut:
فَلْيَتَصَدَّقْ عَلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ لِكُلِّ يَوْمٍ أَفْطَرَهُ حِينَ يُفْطِرُ وَحِينَ يَتَسَحَّرُ
“Bershadaqalah kepada seorang miskin untuk setiap hari ia berbuka, ketika waktu berbuka dan ketika waktu sahur.” (Tafsir Ath-Thabari, III:171)
Demikian
pula ulama tabi’in dan tab’ut tabi’in, seperti Ibnu Syihab Az-Zuhri,
Asy-Sya’bi dan Atha, dan Al-Hasan Al-Bishri tidak menetapkan kadar dan
jenis fidyah. (Tafsir Ath-Thabari, III:163-165)
Sementara ulama lainnya menetapkan kadar dan jenis fidyah. Misalnya, menurut Alqamah dan Ibrahim An-Nakha’i, “wajib memberi makanan kepada seorang miskin 1/2 sha’.” (Tafsir Ath-Thabari, III:162) Menurut Abu Hanifah, 1/2 sha’ (=2 mud) burr (gandum) atau 1 sha’ selain burr, seperti tamr (kurma) atau sya’iir (gandum). (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Sedangkan menurut Sa’id bin Al-Musayyab, sebanyak 1 mud hinthah (biji gandum). (Tafsir Ath-Thabari, III:171). Sementara jumhur ulama berpendapat, 1 mud makanan pokok suatu negeri. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Menurut
Imam An-Nawawi, "Pendapat pertama, kadar (fidyah) ialah satu mud dari
makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat
fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di
negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang
kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap
hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara
jenis makanan yang ada." (Lihat, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, juz VI, hlm. 420)
Adapun
ukuran satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah
sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Saw. Satu sha' nabawi sebanding dengan
480 mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25
gram. Jadi 480 mitsqal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu mud
adalah 510 gram. (Syarhul Mumti' , juz 6, hlm. 176)
Menurut
pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud.
Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000
gram. (Taudhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram, III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram dan 1 sha’ sama dengan 2751 gram. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan
ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu
mud dari biji gandum berkisar antara 510 hingga 675 gram. Sedangkan
selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah ½ sha’
berkisar antara 1375 hingga 1500 gram.
Setelah memperhatikan
berbagai pendapat di atas, kami cenderung kepada pendapat yang
menyatakan bahwa kadar dan jenis fidyah itu adalah seukuran makanan yang
biasa dia makan setiap hari atau yang senilai dengan itu. Dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Karena di dalam nash (teks)
Al Qur`an atau As-Sunnah tidak disebutkan tentang kadar dan jenis
fidyah yang harus dikeluarkan, maka ketetapannya kita kembalikan kepada
'urf (kebiasaan yang lazim), sebagaimana dinyatakan dalam kaidah fiqih:
إِنَّ مَا لَيْسَ لَهُ ضَابِطٌ فِي الشَّرْعِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ إلَى الْعُرْفِ
“Sesuatu yang tidak memiliki batasan, baik secara syariat maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.” (Nihayatus Sul Syarh Minhaj Al-Wushul: 305)
Dengan demikian, kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib fidyah itu dikembalikan kepada ‘urf khas,
yakni kebiasan masing-masing orang yang bersangkutan. Tetapi jika
mengeluarkan lebih, hal itu lebih baik baginya. Demikian pula melebihkan
jumlah orang miskin yang menerimannya. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Maka barangsiapa bertathawwu (menambah) dengan sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya.“ Q.S. Al-Baqarah : 184
Cara & Waktu Membayar Fidyah
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama,
memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin
sejumlah hari-hari yang dia tidak bershaum, sebagaimana hal ini
dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua. (HR.
Al-Baihaqi). Kedua, memberikan kepada orang miskin berupa
makanan yang belum dimasak. Namun lebih baik bila disertai dengan
lauk-pauknya berupa daging, atau yang lainnya, sehingga sempurna
pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan.
Adapun
waktu membayar fidyah terdapat pilihan: dapat membayar fidyah untuk
seorang miskin pada hari itu juga, atau mengakhirkan hingga hari
terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika
beliau tua.
Source: https://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/ketentuan-qadha-fidyah-bagian-ii-tamat/449432528421464
Tidak ada komentar:
Posting Komentar